Pagi ini aku akan pergi ke suatu desa di kota Bandung, namaku Hanna aku
adalah seorang penulis cerpen di salah satu majalah, aku adalah spesialis
penulis horor, cerita yang aku karang selalu berbau mistis atau menyeramkan.
Kali ini aku akan mengambil cerita dari salah satu desa yang berada di
kota Bandung, untuk menyempurnakan karyaku, aku akan meliput keadaan yang
sebenarnya di desa itu. Ditemani oleh ke dua temanku Lia dan Ghina aku
melakukan peliputan cerita itu di tempat kejadian.
Menurut masyarakat sekitar ada satu pohon mistis yang berada di desa
itu, di balik pohon itu ada sebuah sumur tua yang sudah tidak terawat lagi.
Kabarnya, dulu di samping pohon itu ada sebuah rumah yang dihuni oleh satu
kepala keluarga, namun suatu ketika ada seseorang yang membantai keluarga itu
dan merusak habis rumah itu, dan kini yang tersisa hanyalah sumur tua itu.
Merasa penasaran aku mendatangi langsung pohon mistis itu, ternyata benar
dibalik pohon itu ada sebuah sumur tua, tempat ini memang menyeramkan, tepatnya
berada di ujung jalan yang gelap dan dekat dengan TPU. Saat aku tiba ditempat
itu bulu kuduk-ku berdiri rasanya penghuni tempat itu tidak terima aku berada
di sana.
“Neng Kalau eneng merasa merinding, mending eneng izin dulu sama
penghuni tempat ini” Ucap abah Mulya, seorang kakek tua yang menemaniku dan
teman-teman ku selama kami berada di desa ini.
“Oh iya bah, kayaknya gitu deh bah” Jawabku dengan nada suara yang
gugup dan gemetar.
Penghuni yang dimaksud abah Mulya adalah Sari, Sari adalah seorang anak
yang menjadi korban pembantaian itu, menurut abah Mulya, Sari adalah hantu yang
paling sensitif, karena dia sering sekali mengganggu orang. Seperti menangis di
tengah malam, terbang di atas atap rumah warga, bahkan sampai menemani tidur
salah satu warga di desa ini. Akupun sampai merinding mendengar cerita abah
Mulya.
“Bah kayaknya ini udah mau maghrib deh bah, gimana kalau kita pulang
dulu, dan kita lanjutkan besok pagi” Ucap Lia kepada Abah Mulya, yang memang
pada saat itu hari sudah mulai senja.
“Kalau kalian benar-benar mau cerita yang terjadi pada pohon ini,
kalian memang harus datang pada waktu seperti ini” Ucap abah Mulya yang agak
mengagetkan.
Aku agak sedikit tidak mengerti dengan perkataan abah Mulya, namun
karena kami masih asing dengan lingkungan ini dengan terpaksa aku dan
teman-temanku mengikuti ucapannya.
Hari sudah mulai malam, dari tadi aku, Lia, dan Ghina hanya
memperhatikan tingkah laku abah Mulya yang aneh, abah hanya berdiam diri di
pinggir sumur sambil menatap ke arah kami dengan tatapan yang tajam, suatu
ketika Ghina merasa ingin buang air kecil dan aku berkata bagaimana kalau Ghina
buang air di sumur itu saja lagipula sumur itu masih ada airnya, namun abah
melarangnya katanya kalau Ghina buang air di sumur itu maka bahaya akan
menghampirinya.
“Neng abah mau ke warung dulu ya, abah mau beli rokok” Kata abah Mulya
sambil beranjak pergi.
“Oh iya bah, jangan lama-lama ya bah, kita takut d isini” Ucapku kepada
abah Mulya.
Setelah kepergian abah Mulya, Ghina nekad untuk buang air di sumur itu,
karena Ghina sudah tidak kuat untuk menahannya.
“Tadi gue buang air kecil di situ, ngga kenapa-kenapa tuh Han” Ucap
Ghina kepadaku.
Aku menatap mata Ghina, dan tersenyum kecil padanya, sepertinya Lia
sudah tidak tahan berada di tempat ini, karena dari tadi tidak ada tanda-tanda
apapun dengan apa yang diceritakan abah Mulya.
Namun beberapa saat kemudian, angin bertiup kencang, suasana menjadi
aneh, aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Lia dan Ghina bertingkah laku
aneh, matanya menatap tajam mataku seperti apa yang tadi dilakukan abah Mulya,
tatapannya kosong namun seperti menyampaikan sesutu yang tidak aku mengerti apa
maksud tatapan itu. Aku memangil-manggil Lia dan Ghina namun mereka tidak
menjawab, lalu aku mendengar rintihan anak kecil dari ujung jalan yang berada
dekat jurang, dengan rasa penasaran aku menghampiri sumber bunyi suara itu.
Namun samar-samar suara itu hilang dan tiba-tiba...
AAAAAARRRRGGGGGHHHHHHH..........
“Han lo kenapa?”
“Lia...?”
Ternyata Lia menyentuh pundakku,
“Lia...Ghina mana?” Tanyaku padanya.
“Oh iya, Ghina mana ya, tadi gue abis dari warung, tapi disana ngga ada
abah Mulya” Ucapnya.
“Hah warung, bukannya daritadi lo duduk bareng gue di deket pohon itu?”
Tanyaku pada Lia.
“Ya ampun Hanna, tadikan gue nyusul abah ke warung tapi abahnya ngga
ada”
Aku semakin aneh dengan penjelasan Lia barusan, jelas-jelas tadi Lia
dan Ghina menatapku dengan tatapan tajam, tapi tadi Lia bilang dia pergi ke
warung untuk menyusul abah dan seketika Ghina menghilang, ya Ghina tidak ada.
Aku dan Lia segera pergi ke
warung untuk menanyakannya pada abah Mulya, menurut cerita dari Lia, abah Mulya
tidak ada di warung, tapi kemana abah Mulya pergi dan mengapa abah Mulya pergi.
õõõ
“Permisi bu” Ucapku kepada ibu-ibu setengah baya yang berada di warung.
Ibu itu membalas sapaanku dengan senyuman yang dingin, semakin aku
perhatikan sepertinya tatapan ibu itu sama seperti tatapan abah Mulya dan
teman-temanku tadi. Rasanya aneh, apakah semua orang di desa ini memiliki
tatapan yang tajam dan misterius, tapi kenapa Lia dan Ghina-pun melakukannya.
“Bu, ibu kenal sama abah Mulya?” Tanyaku pada ibu penjaga warung itu.
Sejenak ibu itu terdiam dan berkata, “Abah Mulya...?”
“Iya, ibu kenal?” Lanjut Lia.
Belum sempat ibu itu menjawab tiba-tiba seorang lelaki yang sepertinya
berusia 40 tahun datang, dan berkata, “Sepertinya saya belum pernah melihat
kalian berdua, kalian bukan warga desa sini ya”
“Iya pak, kita datang dari Jakarta” Jawabku.
“Oh dari Jakarta pantesan saya ngga pernah liat kalian”
Tiba-tiba ibu penjual warung itu berbisik kepada bapak itu, aku tidak
tau apa yang dibicarakannya, tapi sepertinya berkaitan denganku dan Lia. Oh iya
aku lupa akan keberadaan Ghina, aku pergi ke warung ini untuk bertemu abah
Mulya dan menanyakan soal Ghina.
“Neng, eneng kenal sama abah Mulya?” Tanya bapak itu seketika.
“Iya pak, dari tadi siang, abah Mulya yang nemenin kita di desa ini”
Ucapku menjawab pertanyaan bapak itu.
“Apa? Abah Mulya yang jalannya agak bongkok dan memakai tongkat itu?”
Ucap bapak itu kembali bertanya padaku.
“Iii...iya pak” Jawabku agak sedikit gemetar, karena nada bicara bapak
itu sangat aneh, dan menegangkan.
“Yaampun, atuh tujuan eneng-eneng kesini tuh apa?”
“Jadi saya itu kesini mau mencari kebenaran cerita mistis tentang pohon
di ujung jalan sana pak” Jawabku menjelaskan.
“Pantesan...” Ucap bapak itu.
“Hah...? pantesan kenapa pak?” Tanyaku agak sedikit tidak mengerti.
“Jadi begini neng, dulunya di ujung jalan sana itu ada satu rumah, dan
keluarga pemilik rumah itu dibantai oleh musuh keluarga itu, semua keluarganya
meninggal tanpa terkecuali, anaknya Sari dikubur di dekat sumur itu dan
sekarang ada pohon besar disana. Dan katanya ibunya dibuang ke jurang di
belakang TPU, dan bapaknya abah Mulya dibuang ke sumur tua yang ada disana”
“APA ABAH MULYA...????” Sontak aku terkejut mendengar nama abah Mulya,
dan Ghina, ya Ghina bagaimana nasib Ghina...?
õõõ
Tak henti-hentinya aku menangis di depan pemakaman Ghina, kepergian
Ghina pasti karena ide konyolku untuk pergi ke tempat seperti desa itu, menurut
warga disana Ghina meninggal karena alm.Abah Mulya tidak terima Ghina
mengganggu dia, ya Ghina buang air kecil di sumur itu, sumur yang menjadi
tempat pembuangan mayat abah Mulya. Kini semua korban termasuk keluarga abah
Mulya telah dimakamkan di tempat yang layak, agar mereka tenang di alam sana,
dan kini aku telah tidak lagi menulis cerita horor, ini adalah cerita horor
yang terakhir aku buat. Maafkan aku Ghina semoga arwah kamu tenang di alam
sana. Hanna :’)
lidya: yah pada takut mell :))) aku mah berani huahahaha(?)
BalasHapusMella: aku juga lid, ga serem ko :)
BalasHapusShania: aku ga berani bacanya
BalasHapus